"Tradisi Adat Modifikasi Tubuh Teraneh Di Dunia" - Tradisi
adat merupakan tradisi turun temurun yang dipercaya sebuah komunitas
adat di suatu lokasi dalam kondisi yang cukup lama bahkan turun temurun
telah dilakukan. Meski jaman berganti, ada banyak tradisi budaya yang
masih dipegang teguh. Dan salah satunya adalah tradisi memodifikasi
tubuh. Sepanjang sejarah, manusia telah menggunakan tubuh mereka sebagai
kanvas untuk menunjukkan identitas kultural mereka, kepercayaan, status
sosial, maupun sekedar untuk menambah kecantikan. Saat ini, karena
adanya pengaruh dari berbagai pihak dan perubahan pemikiran masyarakat,
kebanyakan tradisi modifikasi tubuh tradisional tesebut sudah mulai
menghilang. Berikut kami rangkum tradisi modifikasi tubuh terekstrim di dunia.
Teman anehtapinyata.net foot Binding atau pengikatan kaki adalah tradisi
menghentikan pertumbuhan kaki perempuan zaman dahulu yang terjadi di
China. Tradisi ini telah menghadirkan penderitaan besar bagi para
perempuan China pada masa itu. Pengikatan kaki biasanya dimulai sejak
anak berumur antara empat sampai tujuh tahun. Masyarakat miskin biasanya
terlambat memulai pengikatan kaki karena mereka membutuhkan bantuan
anak perempuan mereka dalam mengurus sawah dan perkebunan. Pengikatan
kaki dimulai pada masa akhir dinasti Tang (618-907) dan mulai menyebar
pada golongan kelas atas sampai pada zaman dinasti Song (960-1297), pada
zaman dinasti Ming (1368-1644) dan dinasti Qing (1644-1911), budaya
mengikat kaki menyebar luas dalam mayoritas masyarakat China sampai
akhirnya dilarang pada Revolusi Sun Yat Sen tahun 1911. Kelompok yang
menghindari adat ini hanyalah bangsa Manchu dan kelompok migran Hakka
yang merupakan kelompok paling miskin dalam kasta sosial China.
Kebiasaan mengikat kaki ini berlangsung selama sekitar seribu tahun dan
telah menyebabkan sekitar satu milyar wanita China mengalami pengikatan
kaki.
Pengikatan kaki dilakukan dengan cara membalut kaki dengan ketat
menggunakan kain sepanjang sepuluh kaki dengan lebar dua inchi, melipat
empat jari kaki ke bagian bawah kaki dan menarik ibu jari kaki medekati
tumit. Hal ini membuat kaki menjadi lebih pendek. Pembalut kaki semakin
diketatkan dari hari ke hari dan kaki dipaksa memakai sepatu yang
semakin kecil. Kaki harus dicuci dan dipotong kukunya karena kalau tidak
akan membuat kuku-kuku kaki di kaki yang diikat menusuk ke dalam dan
menimbulkan infeksi. Jika balutan terlalu ketat maka dapat timbul
buku-buku di kaki yang harus dipotong dengan pisau. Kemudian kaki juga
harus dipijat dan dikompres dingin dan panas untuk sedikit mengurangi
rasa sakit. Pengikatan kaki membuat siklus darah tidak lancar sehingga
dapat membuat daging kaki menjadi busuk dan kaki dapat mengeluarkan
nanah. Semakin kecil kaki seorang gadis maka akan semakin cantik ia
dipandang. Panjang kaki seorang gadis hanya berkisar 10-15 sentimeter
saja.
Festival Sembilan Raja Dewa adalah sebuah festival selama sembilan hari
yang dilakukan oleh penganut agama Tao, dimulai pada awal bulan
kesembilan kalender Cina. Festival ini umum dilakukan di negara Myanmar,
Singapura, Malaysia, Thailand, dan di kepulauan Riau. Di negara
Thailand, festival ini disebut juga sebagai Festival Vegetarian. Selain
sebagai bentuk pemujaan kepada para dewa, festival ini juga dimaksudkan
sebagai tanda kedewasaan. Bagi teman yang takut melihat darah,
disarankan untuk tidak menonton festival ini. Karena dalam festival yang
dilaksanakan di Phuket ini disuguhkan berbagai atraksi yang mengerikan.
Para peserta awalnya dibuat kesurupan, kemudian satu persatu mulai
mengiris atau melubangi pipi, tangan, wajah, punggung atau perut dengan
pisau, gergaji, kapak, pedang dan lain-lain. Tentu saja tanpa dibius!!
Kedua suku ini meskipun tinggal di tempat yang berjauhan, yaitu di
Afrika dan di Amerika Selatan, mempunyai adat yang sama, yaitu Lip Plate
(Piring Bibir). Wanita suku Mursi mulai memakai piring ini antara 6
bulan hingga 1 tahun sebelum mereka menikah. Bibir bagian bawah
dilubangi sekitar 1-2 cm, kemudian dipasang kayu berbentuk lingkaran.
Setelah luka itu sembuh, sedikit demi sedikit ukuran diameter benda yang
dipasang mulai bertambah dan tidak lagi menggunakan kayu akan tetapi
diganti dengan piring yang terbuat dari tanah liat. Ukuran diameter
piring bisa mencapai antara 8 hingga 20 cm. Sementara para pria suku
Kayopo yang tinggal di Amazon, Brazil, menggunakan piring bibir ini
sebagai tanda keberanian dan kekuasaan. Sehingga ukuran diameter piring
paling lebar digunakan oleh kepala suku. Saat ini, kebanyakan suku-suku
tersebut telah meninggalkan tradisi ini. Namun, ada beberapa suku yang
masih melakukannya, baik sekedar untuk menjaga tradisi maupun untuk
menarik turis.
Suku Kaningara di Papua Nugini terkenal akan ritual pendewasaannya yang cukup sadis. Meskipun merupakan ritual pendewasaan,
ritual ini cukup mahal sehingga terkadang pria Kaningara harus menunggu
beberapa tahun untuk dapat menjalani ritual ini. Ritual ini dilakukan
untuk melepaskan hubungan si anak dengan dunia “kewanitaan” dan memberi
mereka kekuatan dari arwah buaya. Ritual pendewasaan tersebut dilakukan
di dalam sebuah bangunan khusus bernama Haus Tambaran, yang berarti
“rumah para arwah”. Sebelum menjalani pentatoan, sang pria yang akan
diinisiasi harus menjalani pengasingan terlebih dahulu dalam rumah
tersebut. Wanita dilarang untuk memasuki Haus Tambaran, sehingga pria
tersebut hanya akan menemui pria lain selama masa pengasingannya. Masa
pengasingan tersebut merupakan masa yang sulit; mereka harus menuruti
berbagai tabu dan menjalani berbagai ritual yang melelahkan. Jika mereka
melanggar tabu-tabu tersebut, mereka akan dihukum oleh kepala suku.
Suku Kaningara juga percaya bahwa melanggar tabu dapat menyebabkan
kematian dini.
Suku Maori juga memiliki ritual pendewasaan yang mirip. Namun, kaum
wanita Maori juga mengalami ritual ini. Meskipun begitu, ada
peraturan-peraturan khusus dalam pentatoan untuk wanita Maori. Misalnya,
dahi dan dagu wanita tidak boleh ikut ditato. Selain itu, para Maori
menganggap bibir yang berwarna merah tidak cantik, sehingga bibir para
wanita Maori ikut ditato untuk mengubah warnanya menjadi kebiruan.
Anggota suku Maori yang sedang ditato tidak boleh menunjukkan rasa sakit
mereka, atau mereka akan ‘kehilangan muka’.
Suku Apatani, yang dikenal juga dengan nama Suku Tanni, merupakan suku
yang cukup menarik. Mereka menempati daerah Arunachal Pradesh di India,
dan memiliki sistem agrikultural yang amat efektif. Namun, suku ini
paling dikenal dengan tradisi anehnya,
yaitu sumbat hidung besar yang dipakai oleh para wanita mereka. Saat
ini, hanya wanita-wanita Apatani yang berusia tua saja yang masih
menggunakan sumbat hidung tersebut, namun, di masa lalu seluruh wanita
Apatani menggunakan sumbat hidung tersebut. Berbeda dengan
tradisi-tradisi modifikasi tubuh lainnya, yang pada umumnya bertujuan
untuk menambah kecantikan atau menunjukkan status sosial, tradisi sumbat
hidung ini justru bertujuan untuk membuat wajah para perempuan Apatani
menjadi jelek! Aneh, bukan? Rupanya, konon di masa lalu para wanita suku
Apatani dikenal sebagai wanita-wanita yang tercantik di daerah itu,
sehingga suku-suku di sekitar mereka seringkali menyerang suku Apatani
dan menculik para wanitanya untuk dijadikan budak. Karena takut akan hal
tersebut, maka para wanita Apatani mulai menggunakan sumbat hidung
untuk membuat wajah mereka tidak menarik lagi. Selain itu, mereka pun
mentato wajah mereka dengan garis hitam yang memanjang dari dahi ke
hidung dan lima garis lagi di dagu mereka.
Tentu saja, leher yang panjang amatlah menarik, bukan? Wanita-wanita
suku Kayan di Thailand juga memiliki pendapat yang sama, dan untuk
mendapatkan leher yang panjang, mereka memasang puluhan kalung kuningan
di leher mereka. Berat kalung-kalung tersebut dapat mencapai lebih dari
10 kilogram, sehingga bahu mereka tertekan ke bawah, membuat leher
wanita-wanita tersebut tampak memanjang. Hasilnya, wanita-wanita suku
Kayan memiliki leher yang terlihat amat panjang, sehingga mereka
dijuluki “perempuan jerapah”. Mungkin teman anehtapinyata.net
bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika mereka melepas kalung-kalung
tersebut? Apakah leher sepanjang itu masih cukup kuat untuk menopang
kepala mereka? Rupanya, para perempuan Kayan dapat melepas kalung
tersebut tanpa masalah, hanya saja mereka tidak suka melakukannya.
Setelah memakai kalung-kalung itu selama bertahun-tahun, mereka merasa
‘telanjang’ ketika melepaskannya. Menurut adat, biasanya perempuan Kayan
mulai memakai kalung ketika ia berusia lima tahun, dan jumlah kalung
tersebut ditambah sedikit demi sedikit. Namun, sekarang hanya sedikit
yang masih memilih untuk menggunakan kalung. Di masa lalu, penggunaan
kalung tersebut dimaksudkan untuk menambah kecantikan seorang wanita,
namun saat ini kebanyakan orang hanya menggunakan kalung tersebut untuk
menjaga tradisi saja.
Kebanyakan anak-anak kecil suku Dinka tak menangis ketika seorang dukun
lokal menggoreskan pisau panas di dahi sampai mengeluarkan darah segar.
Jika anak-anak ini meringis, menangis, atau bereaksi maka mereka akan
kehilangan derajat di kalangan masyarakat. Jadi duduk dalam damai adalah
cara terbaik yang masih dilakukan suku Dinka di Sudan Selatan ini.
Garis-garis di dahi ini dianggap sebagai simbol keberanian suku. Waduh,
mengerikan sekali ya!
Tradisi pemanjangan telinga merupakan tradisi yang cukup populer
sepanjang sejarah. Beberapa suku yang melakukan pemanjangan telinga
misalnya suku Masai di Kenya, suku Lahu di Thailand, suku Karen-Padaung
di Myanmar, dan suku Dayak di Indonesia. Beberapa peradaban yang lebih
tua juga tercatat melakukan tradisi ini, seperti suku Maya dan Aztek di
Meksiko. Tradisi ini dilakukan untuk berbagai macam alasan. Ada yang
melakukannya untuk kecantikan, ada yang melakukannya sebagai bagian dari
ritual pendewasaan, ada yang melakukannya sebagai simbol status sosial,
ada juga yang percaya bahwa tradisi tersebut melindungi mereka dari
arwah-arwah jahat. Pemanjangan telinga biasanya dilakukan dengan
memasang anting-anting yang berat, sehingga lama-kelamaan telinga akan
memanjang. Sedikit demi sedikit, anting-anting tersebut ditambah
sehingga semakin berat. Pada akhirnya, panjang telinga seseorang dapat
mencapai berpuluh-puluh sentimeter. Pada suku-suku di Afrika, gading
gajah, kayu, batu, dan duri juga seringkali digunakan untuk memperbesar
lubang tindikan di telinga mereka. Tradisi ini biasa dilakukan oleh baik
laki-laki maupun perempuan. Meskipun dulu sangat populer, saat ini
orang yang masih mempraktekkan tradisi ini sangat sedikit. Biasanya,
tradisi ini hanya dapat diamati pada anggota-anggota suku yang berusia
lanjut.
Suku Mentawai di Sumatera percaya bahwa gigi yang tajam akan membuat
seorang wanita menjadi lebih cantik. Selain itu, penggerusan gigi dapat
menyeimbangkan tubuh dan jiwa mereka. Untuk itu, remaja perempuan
Mentawai menggerus gigi mereka sehigga berbentuk lancip seperti taring.
Secara tradisional, penajaman gigi tersebut dilakukan tanpa obat bius.
Penggerusan gigi ini bisa sangat menyakitkan, sehingga saat ini,
kebanyakan perempuan Mentawai memilih untuk tidak melakukan tradisi itu
lagi. Namun, wanita-wanita dengan status yang lebih tinggi, misalnya
istri kepala suku, masih diharapkan untuk melakukan tradisi tersebut,
untuk membuatnya lebih cantik dan juga untuk menjaga tradisi.
Selain suku Mentawai, penggerusan gigi juga dilakukan oleh berbagai suku
lainnya di dunia, misalnya suku Aborigin dan beberapa suku di Vietnam
dan Sudan. Suku Maya juga tercatat melakukan penggerusan gigi untuk
menandakan status sosial yang tinggi. Terkadang, mereka akan melubangi
gigi mereka dan memasukkan logam mulia ke dalam lubang tersebut.
Beberapa suku di Afrika, contohnya suku Upoto di Kongo, juga melakukan
penggerusan gigi untuk membuat gigi mereka menyerupai gigi binatang
buas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar